Fringe date hypothesis
Danny Hilman Natawidjaja, an Indonesian geologist, has claimed that the site had been built as a giant pyramid 9,000 to 20,000 years ago, implying the existence of an otherwise unknown advanced ancient civilization.[11][unreliable source?][12][13] Natawidjaja's analysis has been questioned by other scientists. Vulcanologist Sutikno Bronto concluded that Gunung Padang is the neck of an ancient volcano and not an artificially created pyramid.[13][14] Archaeologist Víctor Pérez has described Natawidjaja's conclusions as pseudoarchaeology.[2]
Natawidjaja's ideas gained the attention of Indonesia's president Susilo Bambang Yudhoyono, who set up a task force.[2] An archaeologist who did not wish to be named due to the involvement of the country's president stated:
In archaeology we usually find the 'culture' first ... Then, after we find out the artefact's age we'll seek out historical references to any civilisation which existed around that period. Only then will we be able to explain the artefact historically. In this case, they 'found' something, carbon-dated it, then it looks like they created a civilisation around the period to explain their finding.[13]
Natawidjaja has been joined by a former activist-turned-politician and member of Yudhoyono's Democratic Party, Andy Arif, in advancing these pseudoarchaeological ideas. Thirty-four Indonesian archaeologists and geologists signed a petition questioning the motives and methods of the Hilman-Arif team and submitted it to Yudhoyono.[13]
In October 2023, an article by Natawidjaja et al., published in Archaeological Prospection, claimed that Gunung Padang is the oldest pyramid in the world, dating as far back as 27,000 years ago. In March 2024, the publisher of Archaeological Prospection, Wiley, and the editors, retracted that paper, stating that:
...the radiocarbon dating was applied to soil samples that were not associated with any artifacts or features that could be reliably interpreted as anthropogenic or "man-made". Therefore, the interpretation that the site is an ancient pyramid built 9,000 or more years ago is incorrect, and the article must be retracted.[15]
Bisnis.com, JAKARTA - Sejarah peradaban kuno dipercaya tersimpan di Indonesia seiring dengan ditemukannya situs-situs yang berumur ribuan tahun. Salah satu yang diyakini sebagai piramida tertua di dunia yakni Situs Gunung Padang.
Selain situs Candi Borobudur yang ditemukan pada 1814, Indonesia masih memiliki situs yang berumur jauh lebih tua. Situs ini bahkan dipercaya menjadi pendahulu pembangunan Candi Borobudur.
Situs Gunung Padang merupakan salah satu situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Lokasinya tepat berada di Kampung Gunung Padang, Kabupaten Cianjur.
Dilansir dari laman resmi Situs Gunung Padang, keberadaan situs ini dilaporkan pertama kali oleh Nicolaas Johannes Krom dalam tulisannya yang berjudul Rapporten Oudheidkundige Dienst (Buletin Dinas Kepurbakalaan) pada 1914.
Kemudian, Krom melaporkan bahwa di puncak Situs Gunung Padang terdapat empat teras yang tersusun dari batu kasar serta dihiasi batu andesit dan di setiap teras terdapat gundukan tanah yang ditimbuni batu.
Setelah sempat terabaikan selama beberapa dekade, penelitian Situs Gunung Padang kembali dilakukan pada 1979 setelah masyarakat melaporkan tentang keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun.
Situs Gunung PadangPerbesar
Luas area Situs Gunung Padang terhitung mencapai 3 hektar dan disebut sebagai situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara. Berbeda dengan namanya, Situs Gunung Padang bukan berupa gunung melainkan teras berundak yang terdiri atas lima tingkat teras tersusun dalam berbagai ukuran.
Bentuk bangunannya berupa batu-batu besar membentuk pola tersusun seperti altar bertingkat hingga bagian atas sebagai titik puncaknya.
Situs Gunung Padang disebut sebagai situs tertua di dunia mengalahi situs Piramida Giza di Mesir. Hal ini didasari atas perhitungan yang memperkirakan Situs Gunung Padang dibangun pertama kali pada 8000 SM.
Usia ini tertaut jauh jika dibandingkan dengan Piramida Giza di Mesir yang dibangun sekitar 2500 SM. Secara kronologis, situs Gunung Padang juga merupakan bagian dari sejarah peradaban bangsa Indonesia yang meliputi masa prasejarah, Hindu-Budha, masa pengaruh Islam, dan masa pengaruh eropa.
Tradisi megalitik yang muncul pada zaman prasejarah seringkali ditandai dengan struktur bangunan dan artefak batu dalam ukuran yang besar. Hal ini ada pula pada Situs Gunung Padang.
PEMBATALAN pemuatan makalah tentang Gunung Padang di sebuah jurnal arkeologi bergengsi dunia menambah panjang daftar kontroversi seputar situs prasejarah di Cianjur, Jawa Barat, itu. Perlu kolaborasi peneliti internasional untuk menyingkap misteri di balik kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara tersebut.
Makalah berjudul “Geo-archaeological prospecting of Gunung Padang buried prehistoric pyramid in West Java, Indonesia” yang ditulis Danny Hilman Natawidjaja dan kawan-kawan semula tayang di jurnal Archaeological Prospection pada 20 Oktober 2023. Namun, pada 1 Desember 2023, John Wiley & Sons Inc, penerbit jurnal, mencabut artikel tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita boleh saja menilai pengelola jurnal Archaeological Prospection teledor karena pemuatan artikel Danny dkk seharusnya sudah melalui review ketat. Karya Danny dkk pun bukan plagiat atau hasil mencuri data. Penelitian mereka orisinal. Tapi pengasuh jurnal biasanya berusaha menjaga agar muruah sains tak berbaur dengan fantasi.
Danny dkk menyimpulkan bahwa situs megalitik Gunung Padang adalah sebuah piramida yang lebih tua daripada Piramida Giza di Mesir. Piramida Gunung Padang, menurut mereka, berusia sekitar 20 ribu tahun. Sementara itu, piramida Mesir diperkirakan berusia sekitar 4.000 tahun.
Kesimpulan Danny dan kawan-kawan berpijak pada hasil pemindaian geolistrik, georadar, dan pengeboran geologi. Mereka mengklaim adanya struktur buatan manusia dalam tubuh bukit Gunung Padang, berupa rongga-rongga besar dengan atap, dinding, dan ruang.
Kolega Danny, arkeolog Ali Akbar, dalam bukunya, Situs Gunung Padang, menceritakan peristiwa ganjil sewaktu pengeboran di Gunung Padang oleh Andang Bachtiar, rekan Danny yang lain, pada Agustus 2013. Kala itu sebanyak 32 ribu liter air yang digunakan dalam pengeboran tiba-tiba tersedot ke dalam rongga berkedalaman 8 meter. Hal itu, menurut Ali, mengindikasikan adanya ruang kosong di dalam Gunung Padang.
Meskipun penelitian Danny dkk didukung oleh teknologi maju, penting untuk diingat bahwa interpretasi data oleh ilmuwan mana pun bisa saja keliru. Kesimpulan adanya sebuah ruang buatan manusia dalam perut Gunung Padang belum teruji. Apalagi, sejauh ini, belum ditemukan bukti artefak dari dalam Gunung Padang.
Sejumlah vulkanolog malah menyimpulkan Gunung Padang merupakan sumbat atau kubah lava termuda yang terbentuk di kawah gunung api purba selama ribuan tahun. Mereka juga berpendapat bahwa rongga di dalam bekas gunung api purba adalah sesuatu yang alami.
Harry Truman Simanjuntak, seorang arkeolog prasejarah, juga menolak gagasan adanya ruang buatan manusia di perut Gunung Padang. Ia berargumen, leluhur Nusantara tidak mengenal bangunan ruang bawah tanah untuk kehidupan sehari-hari ataupun untuk ritual sakral. Mereka lebih sering memanfaatkan gua-gua alam ketika membutuhkan ruang tertutup.
Apa pun teorinya, kontroversi seputar Gunung Padang kini telah mendunia. Lembaga seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional semestinya mengundang peneliti luar yang membantah pandangan Danny Hilman dkk, lalu mengajak mereka berkolaborasi dengan para saintis Indonesia. Dengan cara itu, upaya pencarian kebenaran mengenai Gunung Padang akan lebih produktif.
Gunung Padang belum lama ini kembali ramai dibahas setelah masuk dalam salah satu episode di film dokumenter dalam Netflix. Banyak yang mengaitkan situs Gunung Padang dengan struktur piramida yang ditemukan di negara lain.
Terkait hal ini, Arkeolog Jawa Barat, Dr. Lutfi Yondri, meluruskan bahwa situs Gunung Padang bukanlah situs piramida.
"Perlu diluruskan, Gunung Padang itu bukan piramida. Situs Gunung Padang itu punden berundak. Penanggalan karbonnya antara 117 SM-45 SM," ucapnya kepada detikEdu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Punden berundak adalah struktur berbentuk persegi empat dan tersusun bertingkat-tingkat. Pendeskripsian situs Gunung Padang diawali dari bagian paling rendah dan kemudian berlanjut ke bagian yang paling tinggi.
When was Gunung Padang Discovered?
Gunung Padang, located in Cianjur, West Java, Indonesia(Credit: Ade Lukmanul Hakimmm/Shutterstock)
The modern story of Gunung Padang begins in the late 19th century when Dutch settlers first became aware of the mighty pyramid just four hours south of Jakarta close to the village of Karyamukti.
According to the writing of Dutch historian Rogier Verbeek in 1891, “on the mountain top Goenoeng Padang, near Goenoeng Melati, a succession of 4 terraces, connected by steps of rough stone, paved with rough flat stones and decorated with numerous sharp and columnar upright andesite stones. On each terrace, a small mound, probably a grave, surrounded and covered with stones and topped with 2 pointed stones. In 1890, visited by Mr. De Corte.”
Of course, long before the Dutch East India Company brought slavery and colonialism to West Java, local inhabitants knew about Gunung Padang and its man-made stone terraces. Revering it as ‘The Mountain of Enlightenment,’ locals still perform mystical ceremonies at the site, which features a freshwater spring at its base.
For nearly a century, mainstream archeologists ignored Gunung Padang. But in 1979, a group of nearby farmers brought more attention to the mountain. Soon, the site became the focus of Indonesian researchers and archeologists.
Digging Deeper Into Gunung Padang’s Chambers
Despite the pushback, Natawidjaja seems to welcome those who challenge his findings. He points out that the core samples his team surveyed from Gunung Padang in Indonesia show that the site is worthy of deeper investigation.
The idea of digging deeper is even more interesting because Ground Penetrating Radar (GPR), geo-electric (Electric Resistivity Tomography), seismic tomography, and core drillings have already revealed what appear to be buried chambers and tunnels. Are these simply caves created by volcanic processes? Or, are these deeply hidden Gunung Padang chambers like the ones buried inside the Pyramid of Giza? Only a carefully orchestrated excavation can tell us for sure.
In the meantime, one thing is certain, the mysteries that veil this exciting Javanese site will continue to perplex and capture the imaginations of future generations to come. For this reason, you might want to hike to the top of this archeological wonder with an ice-cold thermos of Java Robusta the next time you’re passing through Indonesia.
Read More: Secret 30-Foot Long Chamber In The Great Pyramid Discovered
Para ahli dari Barat ramai-ramai membantah studi yang mengklaim situs Gunung Padang sebagai piramida tertua di dunia. Mereka menilai klaim tersebut tak terbukti secara ilmiah.
Laporan bahwa situs Gunung Padang yang berada di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sebagai piramida tertua di dunia dan berusia lebih dari 25 ribu tahun lalu terbit pada November lalu.
Laporan itu disusun oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Danny Hilman Natawidjaja dkk di Archeological Prospection.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para pakar beranggapan penemuan situs setua itu belum pernah terjadi sebelumnya.
Stonehenge dan piramida besar tertua di Mesir saja baru berusia beberapa ribu tahun, sedangkan pemegang rekor sebelumnya, monumen batu Göbekli Tepe di Turki, diperkirakan berusia sekitar 11.000 tahun.
Sementara, Hilman dalam makalah itu mengungkap Gunung Padang kemungkinan dua kali lebih tua dari usia megalit kuno di atas.
"Bukti dari Gunung Padang menunjukkan bahwa praktik konstruksi yang maju sudah ada ketika pertanian, mungkin, belum ditemukan," klaim mereka.
Temuan itu kemudian mendapat respons keras dari banyak arkeolog, yang mengatakan bahwa tidak ada bukti yang disajikan oleh tim untuk membenarkan kesimpulan mereka tentang usia Gunung Padang.
Mereka berpendapat pemukiman di sana mungkin baru dibangun sekitar 6.000 hingga 7.000 tahun yang lalu.
"Data yang disajikan dalam makalah ini tidak memberikan dukungan terhadap kesimpulan akhirnya bahwa pemukiman tersebut sudah sangat tua. Namun hal itulah yang menjadi berita utama," kata Flint Dibble, arkeolog di Cardiff University. "Saya sangat terkejut makalah ini diterbitkan sedemikian rupa."
Menanggapi hal tersebut, Danny mengatakan bahwa penelitian ini sebetulnya untuk menjawab kekhawatiran dari berbagai pihak mengenai studi ilmiah mereka.
"Penelitian ini menjawab kekhawatiran yang diajukan oleh pihak ketiga mengenai konten ilmiah makalah kami. Kami secara aktif terlibat dalam mengatasi permasalahan ini," kata Hilman, mengutip The Guardian, Selasa (19/12).
Kontroversi mengenai usia Gunung Padang itu muncul setelah film dokumenter dari Netflix, Ancient Apocalypse tayang bulan lalu. Dalam dokumenter tersebut, peneliti kontroversial Inggris Graham Hancock meninjau temuan tersebut.
Ia beranggapan kebudayaan kuno yang dulunya canggih, kemudian hancur dalam peristiwa kosmik, membawa ilmu pengetahuan, teknologi, pertanian, dan arsitektur monumental kepada masyarakat primitif yang menghuni dunia setelah zaman es terakhir.
Gunung Padang bisa menjadi contoh hasil karya mereka, kata Graham.
Sejumlah ilmuwan mengejek gagasan ini. "Dia (Graham) memunculkan mitos-mitos, penafsiran takhayul dan seringkali salah terhadap situs-situs arkeologi," kata ahli geologi Marc Defant.
Bill Farley, arkeolog di Southern Connecticut State University di New Haven, juga menyampaikan hal serupa.
"Sebuah teori, yang mengatakan bahwa sekelompok orang bijak kuno mengajari kita semua yang kita ketahui, menyederhanakan sejarah ke tingkat yang kasar dan juga merampas klaim masyarakat adat bahwa mereka mengembangkan budaya kuno dan kerajinan canggih mereka sendiri."
Hilman dalam sebuah kesempatan menganggap gagasan Hancock sebagai "hipotesis yang masuk akal".
Berada di perkebunan pisang dan teh, hampir 3.000 kaki (900-an meter) di atas permukaan laut dan berjarak 120 km dari Jakarta, Gunung Padang terdiri dari serangkaian teras batu di atas gunung api purba. Pecahan tembikar menunjukkan bahwa situs tersebut berusia beberapa ribu tahun.
Hilman dan timnya berargumen bahwa penggunaan radar menunjukkan di bawah bangunan utama terdapat beberapa lapisan buatan manusia yang lebih dalam, dengan lapisan terbawah dari inti lava yang mengeras menunjukkan tanda-tanda bahwa bangunan itu telah "dipahat dengan cermat".
Mengenai Situs Gunung Padang (Foto: Laudy Gracivia)
Nihil bukti hingga bukan piramid di halaman berikutnya...
Tim peneliti melaporkan sampel tanah yang diambil dari material bukit jauh di bawah situs tersebut berumur 27 ribu hingga 16 ribu tahun, dan penambahan selanjutnya diperkirakan berusia sekitar 8 ribu tahun.
Mereka kemudian menyimpulkan Gunung Padang memiliki bukti jelas bahwa pembangunan piramida itu dapat ditelusuri kembali ke 25 ribu tahun atau lebih.
Namun, klaim tersebut ditolak oleh Dibble dan lainnya. Mereka menyatakan Hilman dan tim tidak memberikan bukti material yang terkubur itu adalah buatan manusia.
Para ahli mengatakan benda tersebut mungkin berusia lebih dari 20 ribu tahun, tapi kemungkinan berasal dari alam karena tidak ada bukti keberadaan manusia, seperti kerangka atau artefak di dalam tanah.
"Jika Anda pergi ke Istana Westminster dan menjatuhkan inti tujuh meter ke dalam tanah dan mengambil sampel tanah, Anda mungkin memperkirakan umurnya adalah 40.000 tahun," kata Dibble.
"Namun bukan berarti Istana Westminster dibangun 40.000 tahun lalu oleh manusia purba. Artinya, ada karbon di bawah sana yang berumur 40.000 tahun. Sungguh luar biasa makalah ini diterbitkan."
Hilman kemudian membalas bahwa "pengamatan yang menjadi landasan penelitian kami didukung oleh analisis paparan yang cermat, penebangan dinding parit, studi pengeboran inti, dan survei geofisika yang komprehensif dan terintegrasi," katanya.
Hal ini tidak diterima oleh peneliti lain.
"Klaim ini melibatkan lompatan besar dari data yang mereka miliki, yang paling menarik, menuju kesimpulan besar tentang piramida yang terkubur jauh di bawah tanah," kata Farley.
"[Studi] ini benar-benar lemah dan saya pikir sangat masuk akal jika makalah ini diselidiki. [Makalah] itu tidak layak untuk dipublikasikan dan saya tidak akan terkejut jika akhirnya ditarik kembali," sindirnya.
Selain pakar Barat, kritik juga disampaikan arkeolog senior Indonesia, Truman Simanjuntak. Direktur Center for Prehistoric and Austronesian Studies (CPAS) ini menyebut situs Gunung Padang bukan piramida, melainkan punden berundak.
"Gunung padang bukan piramid tapi punden berundak, salah satu unsur budaya megalitik yang difungsikan sebagai sarana pemuliaan roh leluhur," kata dia, saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Truman menjelaskan situs Gunung Padang dibangun dengan kearifan para leluhur yang memanfaatkan kontur bukit sebagai undakan-undakan yang merepresentasikan tingkat kesakralan.
Menurut dia undakan-undakan ditempatkan sarana-sarana pemuliaan dengan memanfaatkan columnar joint yang tersedia sebagai menhir, batas-batas ruang upacara, bahkan fungsi teknis melindungi undakan tertentu dari longsoran.
"Klaim ada ruangan di dalam bukit dengan tahapan-tahapan pembangunannya sama sekali tidak didukung data arkeologi, jadi tanpa campur tangan manusia. Kaitan dengan itu, klaim umur bangunan sejak lebih 20 ribu tahun tidak berdasar," ujar dia.
Truman juga menegaskan bahwa leluhur megalitik Nusantara tidak mengenal membangun ruang bawah tanah untuk fungsi profan apalagi sakral. Mereka memanfaatkan gua-gua alam jika mereka butuh ruang tertutup untuk hidup.
Menurut dia, untuk menarik suatu kesimpulan atau interpretasi perlu kehati-hatian.
Suatu konstruksi teori atau interpretasi arkeologi harus didukung data dan fakta, antara lain data spesifik (artefaktual, ekofaktual, dan fitur); data kontekstual ( temuan asosiasi, stratigrafi, dll.); serta data konteks keruangan kawasan dan global.
"Klaim itu tidak memenuhi dasar ini. Punden berundak Gunung Padang sama dengan punden lainnya di Jawa Barat dan Indonesia umumnya."
"Tinggalan megalitik untuk pemujaan yang berkembang sejak sekitar awal-awal masehi dan berlanjut seiring waktu, serta hingga kini di daerah tertentu masih bertahan," pungkasnya.
The Gunung Padang Controversy: A Clash of History and Science
If true, the findings at Gunung Padang change everything we thought we knew about the technological capabilities of humans in prehistoric times. Allegedly, this is when humans were only capable of building small, temporary shelters out of wood, bone, and animal hides — not megalithic stone structures or stepped pyramids on the scale of Giza in Egypt.
But this is what we find at Gunung Padang, where thousands of large stone slabs were transported from another region and expertly arranged in a grand work of masonry that appears to be six times older than the Pyramid of Giza, and that’s why the site is controversial.
Read More: Everything Worth Knowing About the Giza Pyramids
The Gunung Padang Hoax
Some conventional academics are chomping at the bit to refute Natawidjaja’s conclusions as ‘fantastical’ or ‘sensational’— some even calling it the “Gunung Padang hoax.”
University of Tarragona Researcher Víctor Pérez, wrote a detailed paper challenging Natawidjaja’s findings. The paper criticizes Natawidjaja’s approach, pointing out what some scientists and academics see as flaws and mistakes in both the execution and theoretical analysis of their research. Pérez argues that these issues undermine the credibility of the ancient dates suggested by Natawidjaja's team, which he claims lack corroborating archaeological evidence.
Another opposing view comes from professor Sutikno Bronto of the Center of Geological Survey in Indonesia. He believes that Gunung Padang is the neck of a nearby volcano and not an ancient pyramid.
Sutikno argues that the findings of younger soil layers among older stones and the carbon-dated material at the site do not substantiate Natawidjaja's claims. He suggests these are results of natural erosion, not indicators of human architectural activity.
Gunung Padang 'berpotensi menjadi piramida tertua di dunia' - Bagaimana bentuk dan fungsinya?
Sumber gambar, Fairfax/Getty
Peneliti Danny Hilman Natawidjaja menyebut hasil penelitian terbarunya soal Gunung Padang bakal mengubah sejarah bahwa peradaban di Indonesia sudah berkembang sebelum abad ke-4 Masehi. Sebab, menurut hasil penelitian Danny, Gunung Padang berpotensi menjadi piramida tertua di dunia.
Itu mengapa dia berharap dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap rahasia tersembunyi sekaligus peradaban kuno di situs misterius tersebut.
Akan tetapi, arkeolog dari Jawa Barat, Dr Lutfi Yondri, menyebut kesimpulan itu mengada-ada karena hasil verifikasinya dan kajian literatur yang ada menyebutkan piramida tidak ada dalam lintasan budaya di Indonesia.
Seperti apa penelitian Gunung Padang?
Temuan terbaru dari penelitian yang dilakukan Danny Hilman Natawidjaja dan sejumlah ahli sebetulnya menguatkan kesimpulannya yang terdahulu bahwa Gunung Padang yang terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, berpotensi menjadi piramida tertua di dunia.
Bahkan situs tersebut kemungkinan berusia 10.000 tahun lebih tua dari Piramida Giza di Mesir dan Stonehenge yang terkenal di Inggris.
Dalam jurnal ilmiah Archaeological Prospection yang baru-baru ini terbit, tertulis bahwa dia beserta tim sudah melakukan survei terpadu di Gunung Padang selama tiga tahun, sejak November 2011 hingga Oktober 2014.
Survei-survei itu di antaranya dengan melakukan pemetaan lanskap dan permukaan situs, pengeboran inti, pembuatan parit, dan teknik geofisika terpadu yang melibatkan metode Tomografi Resistivitas Listrik (ERT) dua dimensi serta tiga dimensi, juga Radar Tembus Tanah (GPR).
Kemudian operasi penggalian dimulai pada pertengahan tahun 2012 dengan sebagian besar pekerjaan dilakukan pada Agustus hingga September 2014.
Sumber gambar, Fairfax/Getty Images
Untuk 'parit' yang digali, ukurannya bervariasi antara 1,2 meter sampai 3,9 meter dari permukaan dan kedalamannya mencapai antara 2 dan 4 meter.
"Penggalian parit dilakukan secara manual dengan menggunakan berbagai alat, antara lain sekop dan cangkul," tulis Danny Hilman.
Sementara kegiatan pengeboran inti situs dilakukan untuk mengeksplorasi lapisan batuan yang lebih dalam.
"Untuk aktivitas ini kami menggunakan peralatan pengeboran Jacro 100 yang dilengkapi dengan mata bor berlian NQ berukuran diameter 2 inci dan inti barel 5 kaki."
Batuan dari inti situs tersebut, sambungnya, diteliti dengan analisis petrologi dan petrografi agar diketahui komposisi dan karakteristiknya.
Adapun sampel tanah organik diekstraksi secara hati-hati yang kemudian digunakan untuk analisis penanggalan karbon.
"Intinya ingin menentukan umur Gunung Padang, karena tanah itu mengandung unsur organik yang bisa ditentukan unsur karbonnya yang berasosiasi dengan umur bangunan," ujar Danny Hilman kepada BBC News Indonesia, Rabu (08/11).
How the Indonesian Pyramid of Gunung Padang was Built
Ancient stone from Gunung Padang site (Credit: Inpics/Shutterstock)
According to Natawidjaja, the data that supports their findings shows that the Gunung Padang pyramid is a bit like a three-layer cake, and each layer was built thousands of years apart. He says the most recent layer, known as Unit-1, was constructed about 3,000 years to 4,000 years ago. The next oldest, Unit-2, was built around 7,500 years to 8,000 years ago. The oldest part of the structure, Unit-3, could be as ancient as 16,000 years to 27,000 years. This supports the research done by B.M Kim, which suggested the pyramid dates back to between 300 and 2,000 B.C.E.
Interestingly, Natawidjaja says, “Unit-2 may potentially be a stepped pyramid."
In his 2023 study of the site, he explains that Gunung Padang is more than just an old stone terrace; it's a complex structure buried underground featuring large chambers and hollow spaces. The carbon dating suggests that the initial construction could have taken place during the last Ice Age, in the Paleolithic era, and was later modified in the Holocene or Neolithic era.
Natawidjaja’s team came to these conclusions by comparing the ages of samples from the volcanic base layer (which is millions of years old) and the three layers of construction.
“In contrast [to the volcano], soil samples taken from between fragmented rocks have been dated to only a few thousand to a few tens of thousands of years old, which presents an enigma in natural geological processes," says Natawidjaja. "Geological principles dictate that soils cannot migrate from the near-surface layers to deeper depths over time. Hence, the juxtaposition of relatively young soils between ancient rock layers poses a significant geological challenge.”
The conclusion: Only a technologically advanced culture during the Ice Age could have positioned those stones. Recognizing the impact of the findings, Natawidjaja once told The Sydney Morning Herald, “It’s crazy, but it’s data.”
Temuan yang mengada-ada?
Arkeolog dari Jawa Barat Dr Lutfi Yondri tak sependapat dengan hasil penelitian Danny Hilman.
Beberapa literatur menunjukkan Gunung Padang yang terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sebetulnya sudah diteliti dan ada dalam catatan yang dibuat oleh Verbeek pada tahun 1981 dan Krom pada 1914.
Deskripsi awal dari dua catatan itu menggambarkan Gunung Padang sebagai kuburan kuno di atas gundukan tanah.
Tetapi jejak kuburan itu tak ditemukan ketika dirinya melakukan penelitian yang dimuat dalam disertasi tahun 2016 silam.
Sumber gambar, Fairfax/Getty Images
Yondri menilai temuan bahwa Gunung Padang adalah piramida yang terkubur mengada-ada atau kesimpulan yang menduga-duga tanpa data yang sahih.
"Pertanyaannya kalau piramida dikubur dalam Gunung Padang apakah pernah ada di Nusantara orang mengubur piramida di dalam gunung?" ungkap Dr Lutfi Yondri kepada BBC News Indonesia.
"Kapan terjadinya orang mengubur piramida di dalam gunung?"
"Berapa banyak material yang dibutuhkan untuk menimbun gunung? Itu bisa dijawab tidak?"
Dia pun mempertanyakan sampel yang digunakan untuk penelitian tersebut.
Di dunia arkeologi, kata dia, "sampel budaya" harus memiliki beberapa syarat: harus berada di satu matrik atau struktur yang sama, harus satu keletakan, satu asosiasi atau kumpulan, dan harus punya konteks.
Kemudian merujuk pada hasil penelitian yang telah dilakukan para ahli.
Untuk konteks, dia menilai Indonesia tidak mempunyai kaitan budaya membuat piramida.
"Pernahkah Indonesia punya budaya piramida? Jangan diada-adain, yang ada di Nusantara punya punden berundak," tegasnya.
Punden berundak adalah susunan batu berbentuk meja yang digunakan untuk upacara pemujaan kepada leluhur.
Dan punden berundak Gunung Padang difungsikan untuk ritual tersebut, sambungnya.
"Jadi semua sampel itu harus diverifikasi, tidak bisa hanya prediksi atau persepsi. Persepsi pun harus didasarkan pada data-data sinkronik dan diakronik serta melihat lagi dalam lintasan budayanya."
Arkeolog: Gunung Padang Piramida Tertua di dunia, Dibangun 25 Ribu Tahun Lalu Bukan Oleh Manusia
TRIBUNNEWS.COM - Laman situs Indy100 dalam ulasan yang ditulis reporternya, Liam O'Dell menyoroti sebuah penelitian di situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat dengan klaim spektakuler.
Penelitian itu, dilaporkan menyebut kalau Gunung Padang adalah sebuah piramida tertua di dunia, bahkan lebih tua dari piramida di Mesir.
Hal lain, piramida ini dibangun 25.000 sebelum masehi dan diduga dibuat bukan oleh manusia.
"Berbeda dari Guinness World Records yang secara resmi mencantumkan piramida Djoser Step di Mesir sebagai piramida tertua di dunia (sekitar 2.630 SM), satu makalah yang diterbitkan pada bulan Oktober mengklaim lapisan piramida Gunung Padang di Indonesia dibangun sejauh 25.000 SM – meskipun sejak itu ada keraguan apakah struktur itu adalah buatan manusia sama sekali," tulis ulasan itu di laman tersebut, dikutip Senin (11/11/2024).
Ulasan itu melaporkan kalau penelitian dipimpin oleh Danny Hilman Natawidjaja dari Institut Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan diterbitkan dalam jurnal Archaeological Prospection.
"Para akademisi menulis kalau “inti piramida terdiri dari lava andesit besar yang diukit dengan cermat” dan bahwa elemen “konstruksi tertua” dari piramida “kemungkinan berasal dari bukit lava alami sebelum dipahat dan kemudian diselimuti secara arsitektur”," papar ulasan tersebut merujuk pada makalah hasil penelitian .
Mereka menulis: “Studi ini menyoroti keterampilan batu maju yang berasal dari periode glasial terakhir. Temuan ini menantang keyakinan konvensional bahwa peradaban manusia dan pengembangan teknik konstruksi canggih hanya muncul ... dengan munculnya pertanian sekitar 11.000 tahun yang lalu.
“Bukti dari Gunung Padang dan situs lainnya, seperti Gobekli Tepe (di Turki), menunjukkan bahwa praktik konstruksi tingkat lanjut sudah ada ketika pertanian, mungkin, belum ditemukan.”
"Para akademisi juga mengklaim kalau para pembangun “pasti memiliki kemampuan tukang batu yang luar biasa”," kata ulasan tersebut.
Namun, seorang arkeolog Inggris telah menolak makalah itu, dengan mengatakan kalau dia “terkejut [makalah soal Gunung Padang] bisa diterbitkan”.
Arkeolog Inggris tersebut, Flint Dibble, dari Cardiff University, mengatakan kepada jurnal Nature kalau tidak ada bukti yang jelas yang menunjukkan lapisan yang terkubur dibangun oleh manusia.
Ia lebih condong menilai pada teori kalau struktur terbentuk secara alami.
“Bahan berguling menuruni bukit akan, rata-rata, berorientasi sendiri,” katanya, menambahkan bahwa tidak ada bukti “bekerja atau apa pun untuk menunjukkan bahwa itu buatan manusia”.
Sementara itu, Bill Farley, seorang arkeolog di Southern Connecticut State University, mengatakan "sampel tanah 27.000 tahun dari Gunung Padang, meskipun akurat secara tanggal, tidak membawa ciri khas aktivitas manusia, seperti arang atau fragmen tulang ".
Natawidja telah menanggapi kritik tersebut dengan mengatakan “kami benar-benar terbuka untuk para peneliti di seluruh dunia yang ingin datang ke Indonesia dan melakukan beberapa program penelitian tentang Gunung Padang”, sementara co-editor Prospeksi Arkeologi telah mengkonfirmasi penyelidikan telah diluncurkan ke dalam makalah ini.
Gunung Padang, sebuah bangunan megalitik kolosal yang terletak di lanskap subur Jawa Barat, Indonesia, mungkin merupakan piramida tertua di dunia. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa situs kuno ini mungkin lebih tua dari .Göbekli di Türkiye. Tepe Mesir dan bahkan lebih tua dari keajaiban batu piramida terkenal
Sebuah tim arkeolog, ahli geofisika, ahli geologi, dan ahli paleontologi yang berafiliasi dengan berbagai institusi di Indonesia telah menemukan bukti yang menunjukkan bahwa Gunung Padang adalah piramida tertua di dunia. Sebagaimana dikutif dari arkeonews.net (21/11/2023)
Kelompok ini menjelaskan studi multi-tahun mereka terhadap situs warisan budaya tersebut dalam artikel mereka yang diterbitkan di jurnal arkeologi interdisipliner Archaeological Prospection pada bulan Oktober.
Gunung Padang, juga dikenal sebagai “gunung pencerahan”, terletak di puncak gunung berapi yang sudah punah dan dianggap sebagai situs suci oleh penduduk setempat. Pada tahun 1998, Gunung Padang ditetapkan sebagai situs warisan budaya nasional.
Dipimpin oleh ahli geologi Danny Hilman Natawidjaja dan timnya di Badan Riset dan Inovasi Nasional, penelitian baru ini menunjukkan bahwa Gunung Padang berasal dari Zaman Es terakhir, sekitar 25.000 hingga 14.000 tahun yang lalu.
t kemungkinan besar “berasal dari bukit lava alami sebelum dipahat dan kemudian diselimuti secara arsitektural”, menurut tim tersebut. Hal ini membuat Gunung Padang setidaknya berusia 16.000 tahun.Gunung Padang terletak di puncak gunung berapi yang sudah punah dan dianggap sebagai situs suci oleh penduduk setempat
Lebih khusus lagi, para peneliti menemukan bukti dari beberapa upaya yang, jika digabungkan dari waktu ke waktu, akan menghasilkan struktur yang lengkap. Yang pertama adalah pahatan lava, di mana para pembangun mengukir bentuk-bentuk di puncak gunung berapi kecil yang mati. Kelompok lain menambahkan lapisan batu bata dan kolom batu beberapa ribu tahun kemudian, antara tahun 7900 dan 6100 SM. Kelompok lain kemudian menambahkan lapisan tanah pada bagian bukit, menutupi sebagian pekerjaan sebelumnya. Kemudian, antara tahun 2000 dan 1100 SM, kelompok lain menambahkan tambahan tanah lapisan atas, terasering batu, dan elemen lainnya.
Studi ini menantang keyakinan konvensional dengan menyoroti kemampuan batu canggih yang ditunjukkan oleh para pembangun Gunung Padang. Bertentangan dengan ekspektasi yang didasarkan pada budaya pemburu-pengumpul tradisional, penelitian ini mengungkapkan adanya praktik konstruksi maju selama periode glasial terakhir.
(a) Pemandangan Gunung Padang dari udara diambil dari helikopter. (b) Topografi dan peta lokasi dihasilkan dari survei geodesi terperinci. (c) Peta Geologi wilayah Gunung Padang (Sudjatmiko, 1972). (d) Peta ortofoto yang diperoleh dari survei drone yang dilakukan pada tahun 2014, menunjukkan lokasi lokasi penggalian parit (persegi panjang putih) dan lokasi pengeboran inti (titik merah). T1, Teras 1; T2, Teras 2; T3, Teras 3; T4, Teras 4; T5, Teras 5. Kredit: Prospeksi Arkeologi (2023). DOI: 10.1002/arp.1912
Tim peneliti melakukan studi ilmiah jangka panjang terhadap struktur studi baru ini. Mereka mempelajari struktur tersebut menggunakan tomografi seismik, tomografi resistivitas listrik, dan radar penembus tanah dari tahun 2011 hingga 2015. Mereka juga mengebor ke dalam bukit dan mengumpulkan sampel inti, yang memungkinkan mereka menggunakan teknik penanggalan radiokarbon untuk menentukan usia lapisan bukit tersebut. .
Tim peneliti juga menemukan beberapa bukti yang menunjukkan mungkin ada beberapa bagian berlubang di dalam struktur, yang menunjukkan kemungkinan adanya ruang tersembunyi. Mereka berencana menelusurinya dan kemudian menurunkan kamera untuk melihat apa yang mungkin ada di area tersebut.
“Gunung Padang berdiri sebagai sebuah bukti yang luar biasa, berpotensi menjadi piramida tertua di dunia,” kata para peneliti dalam makalah tersebut.
Warta Kaltim @2024-Jul
Megalithic site in West Java, Indonesia
Gunung Padang is an archaeological site located in Karyamukti, West Java, Indonesia, 50 kilometres (31 mi) southwest of Cianjur. Located at 885 metres (2,904 ft) above sea level, the site covers a hill—an extinct volcano—in a series of five terraces bordered by retaining walls of stone that are accessed by 370 successive andesite steps rising about 95 metres (312 ft). It is covered with massive hexagonal stone columns of volcanic origin.[1] The Sundanese people consider the site sacred and believe it was the result of King Siliwangi's attempt to build a palace in one night.[2]
Gunung Padang consists of a series of five artificial terraces, one rectangular and four trapezoidal, that occur, one through five, at successively higher elevations. These terraces also become successively smaller with elevation, with the first terrace as the lowest and largest and the fifth terrace as the highest and smallest. These terraces lie along a central, longitudinal NW–SE axis. They are artificial platforms created by lowering high spots and filling in low spots with fill until a flat surface was achieved. The terrace perimeters consist of retaining walls formed by volcanic polygonal columns stacked horizontally and built vertically as posts. The terrace complex is accessed by a central stairway with 370 steps, an inclination of 45 degrees, and a length of 110 m (360 ft).[2][3]
Dutch historian Rogier Verbeek mentioned the existence of the Gunung Padang site in his book Oudheden van Java: lijst der voornaamste overblijfselen uit den Hindoetijd op Java, based on a visit and report by M. De Corte in 1890[4]
Goenoeng Padang : Op den bergtop Goenoeng Padang, nabij Goenoeng Melati, eene opeenvolging van 4 terrassen, door trappen van ruwe steenen verbonden, met ruwe platte steenen bevloerd en met talrijke scherpe en zuilvormige rechtopstaande andesietsteenen versierd. Op ieder terrasse een heuveltje, waarschijnlijk een graf, met steenen omzet en bedekt, en van boven met 2 spitse steenen voorzien. In 1890, door den heer De Corte bezocht.
Goenoeng Padang : On the mountain top Goenoeng Padang, near Goenoeng Melati, a succession of 4 terraces, connected by steps of rough stone, paved with rough flat stones and decorated with numerous sharp and columnar upright andesite stones. On each terrace a small mound, probably a grave, surrounded and covered with stones and topped with 2 pointed stones. In 1890, visited by Mr. De Corte.
—Rogier Verbeek, Oudheden van Java,1891.
The notes on the Gunung Padang site in Verbeek's book are similar to those made by Dutch archaeologist Nicolaas Johannes Krom in the 1914 "Rapporten van de Oudheidkundige Dienst" ("Report of the Department of Antiquities").[5]
After 1914, the site was largely forgotten until 1979, when a group of local farmers rediscovered Gunung Padang. This discovery quickly attracted the attention of the Bandung Institute of Archaeology, the Directorate of Antiquities, PUSPAN (now the Center for Archaeological Research and Development), the local government, and various community groups.[2] Throughout the 1980s, these organizations conducted joint archaeological research and restoration work at Gunung Padang. In 1998, the Indonesian Ministry of Education and Culture declared it a heritage site of local interest.[2] At the end of June 2014, the ministry declared Gunung Padang a National Site Area, covering a total of 29 hectares (72 acres).[6]
On 1 October 2014, surveyors halted excavation activities temporarily, hoping to begin them again under the new government.[7] The 2014 excavation has been criticized for being improperly conducted.[8]
Archaeologist Lutfi Yondri from the bureau of archaeology in Bandung has estimated that the structures at Gunung Padang may have been built sometime between the 2nd and 5th centuries CE, thus in the Indonesian late prehistoric period, whereas Harry Truman Simanjuntak has suggested a later date in historical times, between the 6th and 8th centuries CE.[9] Pottery fragments found at the site were dated by the bureau of archaeology in the range 45 BCE–22 CE.[10]